Brexit Bukan Fenomena Anomali
Brexit Bukan Fenomena Anomali
Telah banyak iberitakan diberbagai media mengenai “Brexit”
alias Bretain Exit, peristiwa keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa.
Pertanyaannya, Apakah itu merupakan hal yang menggemparkan?
Kalau kita boleh telaah perjalanan keluarnya Inggris Raya
dari arisan negara-negara super power Eropa itu, Negara Pimpinan Ratu Elizabeth
itu tidak sebentar atau tidak mendadak muncul pada saat ini. Itu diperoleh dari
sejarah referendum penduduk Inggris Raya untuk keluar dari komunitas tersebut.
Sebenarnya, banyak penduduk negara tersebut yang tidak setuju dengan bergabung
pada komunitas tersebut. Namun setelah perjalanannya selama 43 tahun memetik
hasilnya, lebih banyak suara-suara yang semakin kuat untuk memutuskan keluar
dari komunitas itu.
Kejadian itu bukan fenomena anomali yang ujug-ujug muncul tiba-tiba. Rakyat telah
merencanakan sejak lama. Itulah refleksi jenuh dari suatu member yang ingin
menentukan kebebasannya dalam mengatur dirinya. Kali ini, Inggris Raya merasa
tidak terlepas pada memory of post powersyndrome, suatu perasaan yang selalu mengenang masa kejayaan di waktu
lampau dan sulit untuk melepasnya kembali. Bagaimana tidak, Inggris Raya dahulu
begitu berkuasa dengan banyak pos-pos jajahan dimana-mana, namun sekarang malah
harus banyak memikirkan cicilan kepada negara Uni Eropa.
Akhirnya melalui referendum 23 Juni 2016, Inggris memutuskan
untuk keluar dengan perbandingan voters
yang memilih untuk keluar 52% sementara yang tetap pada EU 48%. Seperti yang
dilansirdi BBC.COM (24/6). Keputusan yang hampir berimbang.
Sebenarnya Perdana Menteri David Cameron menurut kata
hatinya masih menginginkan Inggris Raya tetap ada di Uni Eropa, hanya saja ia
terpaksa memenuhi janji kampanyenya. Isi dari kampanye yang mengangkat isu
mengadakan referendum tentang Brexit paling lambat di tahun 2017 secara
konstituen. Kenyataannya, partai konservatif memenangkan pemilu dan ia terpilih
menjadi Perdana Menteri. Maka program janji kampanye itulah yang mau tidak mau ia harus mengambil
keputusan tersebut.
Dampak Brexit begitu besar khususnya bagi Inggris Raya
sendiri. Yang paling menonjol adalah menurunnya Sterling terhadap mata uang
lain. Ini mengakibatkan perekonomian negara tersebut terganggu. Hal itu pun
memberikan tekanan terhadap dunia sepak bola. Pemain sepak bola yang harusnya
mendapatkan suntikan gaji dari Sterling, mengalami kerugian karena penurunan
itu. Di sisi lain, yang dulunya pemain keluar masuk Uni Eropa – UK tanpa
menggunakan izin, sekarang harus mengurus izin. Akhirnya proses bekerja menjadi
tidak lancar.
Apakah Brexit berdampak bagi telbanners Indonesia yang merupakan
pegiat pendidikan? Ya, sangat berdampak sekali jawabannya. Di atas telah diulas
bahwa Sterling pun menurun, maka akan mempengaruhi bagaimana pelajar Indonesia
yang sedang belajar di Inggris Raya. Pada saat melakukan transaksi pembayaran
tuition fee, boarding fee, shopping, dan lainnya menjadi terusik. Pada konteks
lain, jatah penyelenggara beasiswa kuliah pun juga terancam dipangkas bahkan
bisa jadi tidak ada. Hal itu tergantung dengan kebijakan Perdana Menteri
Inggris Raya selanjutnya.
Comments
Post a Comment