Anak Generasi Z Mondok, Why Not?
Anak Generasi Z Mondok, Why Not?
Apakah anda pusing menghadapi
perilaku dan karakter generasi Z yang penuh dengan tanda tanya? Sudah saatnya
anda move on dengan cara pendampingan anda kepada mereka. Ingatlah bahwa mereka
sangat berbeda dengan generasi kita di masa lalu yang selalu sabar dan taat
dengan fenomena yang ada. Pepatah “Ajarilah anakmu sesuai zamannya dan jangan
engkau ajari anakmu sesuai zamanmu dulu” memang harus menjadi perhatian. Ini
sangat penting untuk dipertimbangkan agar pembelajaran untuk mereka lebih fokus
dan tepat sasaran.
Dewasa ini, mondok memang kurang
diminati oleh generasi Z karena sifat mereka yang ingin instan dan bebas.
Namun, sangat banyak pondok pesantren untuk generasi mileneal seperti mereka
yang tumbuh berkembang di masyarakat. Ini menjadi berkembang psat dan saling
berkompetisi satu dengan yang lain. Hasilnya menjadi berbeda karena mereka
memiliki resep pendidikan pondok untuk generasi pada saat ini. Silahkan simak
beberapa karakter generasi Z agar kegiatan mondok yang mereka lakukan bisa
betah dan nyaman tinggal di pondok.
Beberapa Karakter Generasi Z
1. Memiliki ambisi yang besar
untuk sukses
Menjadi seseorang dengan ambisi
besar tidaklah mudah. tentu mereka akan cenderung memiliki banyak ide untuk
diaktualisasikan. Tidak hanya itu juga, sikap mereka pun cenderung berbeda
dengan yang lainnya. Kebanyakan dari m
ereka selalu bersikap aktif dan ingin
menonjolkan diri. Eksistensi yang ada selalu menjadi hasrat untuk bisa
disaksikan yang lainnya. Ini akan menjadi hal yang positif jika keinginan
tersebut diberi arah oleh kita sebagai pendamping menuju arah yang lebih baik.
Ambisi ini sangat mempengaruhi
pola pembelajaran mereka di kelas. Maka dari itu, sebagai guru kita dituntut
untuk memberikan ruang kepada mereka agar eksistensi mereka diakui. Misalnya
saja, guru pada zaman dahulu lebih banyak menyelesaikan soal dengan cara
konvensional sesuai kaidah. Ini menjadi berbeda dengan generasi ini. Mereka
lebih banyak ingin menyelesaikan masalahnya dengan cara mereka sendiri. Apalagi
jika ada cara cepat yang instan dan hasilnya sama. Mereka cenderung tidak
menyukai terlalu diarahkan oleh guru. Kemampuan untuk menyelesaikan masalah
dengan diri mereka itu jauh lebih disukainya.
2. Menyukai cara instan yang
praktis
Kita sering menyelesaikan masalah
sesuai kaidah yang ada. Tetapi, ini sangat kontras dengan kebiasaan mereka.
Dari makanannya saja sering kali mereka mengkonsumsi hal yang instan. Ini menjadi
faktor juga yang mempengaruhi bahwa mereka lebih menyukai trik cepat dalam
menyelesaikan permasalahan yang ada.
Hal yang berbelit-belit itu
sangat mengganggu pola pikir mereka. Ini menuntut bahwa sesuatu harus dilakukan
dengan cara praktis. Maka dari itu, seorang guru harus memiliki ide kreatif
dalam memberikan asis kepada mereka tentang apa yang ingin diraihnya.
3. Menyukai kebebasan
Kita di masa lalu lebih sering
hidup teratur dan sesuai dengan kebiasaan yang diajarkan oleh orang tua kita.
Dari segi bangun tidur hingga makan pagi saja selalu diingatkan harus tepat
sehingga menjadi budaya. Tetapi mereka tidak sama demikian. Mereka lebih ingin
bebas dengan cara mereka sendiri. Ini menjadi sesuatu yang sulit bagi kita
untuk menasehati mereka. Terkadang mau dinasehati, namun dalam hati mereka
berbeda dengan sisi luarnya.
Terlebih lagi dalam berpendapat,
mereka lebih menggandrungi kebebasan untuk berekspresi. Guru tidak serta merta
dapat mengintervensi mereka. Yang ada jika itu terjadi, maka kenyataan yang ada
akan berbeda. Mereka bisa tidak ikhlas menerima pembelajaran yang diberikan
oleh guru.
Faktor kebebasan dari sudut
pandang Islam sering dianggap ambigu oleh mereka. Ini menjadi permasalahan pada
saat anda mengajar. Guru yang menurut guru masa lalu digugu dan ditiru menjadi
tidak bermakna lagi. Bagaimana tidak, nasehat yang dulu dianggap sebagai obat
hati justru terkesan dimarahi di dalam hati mereka.
Lalu seberapa jauh rasa hormat
mereka kepada guru? Maka dari itu, seorang guru masa kini wajib untuk tahu
betul kondisi psikis mereka. Tidak semua dari mereka itu memahami konteks adab
bergaul terhadap guru. Ini PR bagi kita sebagai guru untuk menjadi pendamping
yang baik bagi mereka. Bergaulah seakan kita sebagai teman dekat mereka, maka
mereka akan menghormati kita layaknya kita sebagai guru. Kehormatan kita tidak
akan jatuh dan diinjak-injak selagi kita bisa mengarahkan mereka dengan baik.
Dengan kata lain, kita harus
menyuguhkan konsep pembelajaran yang membuat diri mereka merasa bebas dan tidak
terbelenggu. Ini akan menumbuhkan kesan tulus ikhlas bagi mereka untuk belajar.
4. Konfiden
Rasa percaya diri pada generasi
ini lebih tinggi. Kalau kita pada dulu untuk maju ke depan kelas itu rebutan
untuk tidak mau karena malu, namun mereka lebih ingin eksis. Mereka selalu
ingin dianggap. Mau tidak mau sikap percaya diri mereka lebih mudah tumbuh
dengan pengaruh budaya yang ada.
Ini yang menjadikan bahwa guru
harus berhati-hati dalam memberikan masukan bagi mereka. Jangan sampai tutur
kata kita dapat menjatuhkan mereka.
5. Menonjolkan hal yang detail
terhadap suatu masalah
Perkembangan Teknologi Informasi
yang melesat tinggi membuat perubahan pola pikir khususnya pada generasi Z ini.
Mereka banyak belajar dari mesin pencarian di internet. Ini menjadikan mereka
lebih mudah untuk akses hal tertentu sehingga kebanyakan sisi dianalisis secara
mendasar dan detail.
Maka kita jangan heran jika
santri-santri kita yang sedang mondok memiliki hal yang kritis. Itu karena
sebelum mondok mereka sudah banyak tertanam persepsi-persepsi yang berkembang
dengan teknologi tersebut. Sering kali guru pondok dibuat bingung dengan
perilaku mereka yang terkesan berani terhadap ustadnya, yang kita dahulu dengan
kiai sangat patuh hingga bertuturkata saja dengan menundukkan kepala. Guru
wajib tahu tentang ini. Mereka wajib sabar dan mengembalikan semangat mereka
untuk senantiasa membiasakan adab-adab islami dalam sisi kehidupan mereka.
Ingatlah bahwa sikap mereka yang seperti itu tidak bisa diingatkan dengan
paksa, harus ada trik khusus untuk melakukannya. Keberhasilan mereka itu adalah
warisan kita sebagai guru. Jika kita sabar dan telaten, maka itu akan menjadi
kisah klasik yang paling indah untuk masa depan mereka.
Mengajar Generasi Z di Pondok
1. Guru Pembelajar yang Mumtaz
Menjadi guru yang mumtaz yang
digandrungi oleh anak didik sangat penting pada saat ini. Bagaimana tidak, jika
anak didik yang kita ajar tidak menyukai kita sebagai guru. Pasti yang ada
mereka akan tertidur. Sekalipun anda memaksa mereka hingga menghukum mereka,
mereka akan mentaati anda, namun dengan terpaksa. Hati mereka tidak akan
bersama dengan pembelajaran anda.
Guru pembelajar ini adalah mereka
yang selalu ingin belajar dengan perkembangan zaman dari teknologi hingga
keilmuan. Jadi guru pada masa kini jangan hanya puas menjadi guru yang S-1
tanpa hasil karya apa-apa. Mereka bisa jadi akan menantang kita dengan hasil
karyanya. “Wahai pak guru, ini hasil karyaku, mana karyamu”, pasti akan
menyakitkan jika itu terjadi.
2. Guru humanis yang dekat dengan
santri
Santri mileneal itu memiliki
sikap ingin dianggap dan ingin eksis seperti di atas. Tidak bisa kita
membiarkan mereka kosong tanpa pengakuan kita. Setiap kali mereka menunjukkan
sesuatu kepada kita tidak boleh dianggap sok atau negative.
Kita harus menjadi guru konseling
yang tidak hanya mengajarkan mereka sekedar keilmuan. Keterampilan social yang
termaktub pada Kompetensi Inti juga wajib diejawantahkan. Ini menjadi penting
karena dapat membentuk hubungan yang humanis diantara guru dan santri. Jika
mereka senang, maka mereka akan lebih mudah untuk menerima ilmu anda.
Terima kasih atas kunjungan anda.
Untuk lebih lanjut, silahkan tunggu edisi Generasi Z tahap 3 setelah publikasi
ini….
Comments
Post a Comment