Tidak Zaman: Nakal Masuk Pondok
Tidak Zaman: Nakal Masuk Pondok
Fenomena
mondok pada saat ini menjadi kegiatan
yang digandrungi. Banyak bermunculan pondok dari skala kecil hingga skala
besar. Pondok kecil hingga besar dengan skala santri yang sangat banyak, bahkan
hingga mencapai angka delapan ribu santri sudah berdiri di tanah pertiwi ini.
Yang modern pada saat ini bahwa banyak pondok yang berlomba-lomba membangun
pondok dari segi modernitas hingga luas kapasitas. Ini yang menjadi incaran
para wali santri untuk memasukkan putra putrinya menjadi santri di pondok.
Mondok Zaman Old (Tempo Doeloe)
Gaya mondok tempo doeloe sangat
berbeda dengan sekarang. Dahulu banyak orang berpresepsi bahwa pondok sebagai
tempat untuk merubah perilaku. Dalil orang tua dengan ungkapan “Nak, kalau
nakal mondok aja ya” menjadi marketing tool secara otomatis membuat pondok
menjadi ramai. Banyak santri dengan intake yang berasal dari kalangan dengan
noble”nakal”. Itu artinya peserta didik yang menjadi santri di pondok
didominasi oleh kalangan tersebut.
Persepsi
inilah yang membentuk paradigma gurupondok menjadi berbeda. Tidak cukup, santri diajari dengan menggunakan
tutur kata. Maka tidak heran kalau kita sering mendengar cerita dari pondok
bahwa ada guru yang mengajar sambil membawa penggaris sekalipun itu bukan guru
Matematika. Coba, apa korelasinya guru agama dengan penggaris angka. Kenyataannya
penggaris tersebut sering dipakai untuk menghukum santri yang nakal. Ini
menjadikan suasana pondok menjadi terkesan ekstrim.
Melanggar digundul, pepatah
ini sudah tidak awam lagi di persepsi masyarakat. Banyak pondok yang menerapkan
kepada santri bahwa kalau rambut tidak sesuai dengan aturan atau telah
melakukan pelanggaran tertentu, maka santri tersebut harus menghadap mahkamah
kedisiplinan pondok untuk digundul. Yang terbesit dalam benak masyarakat
apabila ada anak pondok pulang dari pondoknya dengan keadaan gundul adalah
telah melakukan pelanggaran.
Sisi baik
dari pondok zaman old tidak dapat diragukan lagi dengan mengacu pola pikir
peserta didik pada zaman tersebut. Sudah banyak bukti dari mereka yang saat ini
menjadi pemimpin di negeri ini hasil dari tempaan pondok tempo doeloe. Itu
semua karena konsistensi dan keistiqomahan para pendidiknya yang serius dengan
capaian di setiap periode pembelajaran mereka. Ini yang tidak bisa dibandingkan
dengan pondok masa kini yang belum memiliki bukti success story.
Mondok Zaman Now (Santri Kekinian)
Dengan
adanya perkembangan teknologi informasi, pondok tidak bisa menjauh atau
menghindari perkembangan zaman. Sekarang sangat banyak pondok modern yang
melengkapi fasilitasnya dengan teknologi informasi yang memadai.
Didukung
dengan peraturan pemerintah tentang pendidikan
era kekinian, mondok masa kini tidak seperti yang dulu. Untuk mencari
santri saja sekarang harus promosi di berbagai media dari manual hingga
elektronik. Ini yang menjadi kebutuhan pondok pada masa kini bahwa persepsi di
media elektronik mampu menyihir masyarakat untuk turut tertarik menjadi santri
di pondok tersebut.
Dari segi
budaya, tidak ada pondok sekarang ini yang menerapkan hukuman fisik. Pertama
hukum yang berlaku di Indonesia pada saat ini menjadi berbeda. Hukuman fisik
langsung diawasi oleh pemerintah terkait HAM. Penggaris yang dipakai di
pendidikan tempo doeloe jika membekas difisum itu dapat dipidanakan ke
kepolisian. Ini yang membuat pendidikan masa kini untuk anak mileneal harus
diterapkan kedalam pendidikan ramahsantri.
Layanan prima di pondok kini sudah
saling berkompetisi. Kini para santri semakin betah di pondok dengan adanya
fasilitas yang memadai sehingga semakin nyaman. Dulu tidak ada santri yang
bermain internet, tetapi kini akses tersebut semakin dilengkapi dengan
kapasitas yang bersaing.
Persaingan masuk pondok semakin
ketat. Kalau dulu ada animo masuk pondok lebih banyak dari kalangan “nakal”.
Ini terbantahkan dengan kenyataan yang ada pada saat ini. Banyak santri
berkompetisi masuk pondok memperebutkan kursi pondok secara karakter, akademik
dan religi. Untuk masuk pondok saja harus mengikuti tes pesikologi, tes
akademik, dan tes religi. Ini menjadikan persaingan semakin ketat sehingga
pondok dipenuhi oleh peserta didik yang haus akan pendidikan/ keilmuan.
Comments
Post a Comment