KKM Tinggi, Murid Pasti Pintar?
KKM Sekolah
Sebagai Refleksi Kemampuan Siswa, Apa Benar?
Hingar
bingar perubahan sistem pendidikan
menjadi isu penting bagi pgiat pendidikan. Bukan berarti hanya pendidik saja
yang harus memperhatikan tingkat dan standar kemampuan siswa, namun orang tua
atau calon orang tua pun harus mengerti cara memahami kemampuan seorang anak di
sekolah. Jangan sampai hanya memberikan kepercayaan saja ke pihak sekolah tanpa
mengecek kejadian sebenarnya yang dialami anak, tanpa mengetahui seberapa besar
dan jauh nilai ataukompetensi yang diraih anak. Padahal itu semua dapat dilihat dari titik KKM (Kriteria
Ketuntasan Maksimal) per mata pelajaran. Yang terjadi sekarang ini adalah
perlombaan tingkat tinggi antar sekolah di bidang KKM. Pasalnya, sekolah yang
memiliki ketuntasan tinggi dapat dianggap bahwa sekolah memiliki kualitas yang
bagus. Dengan memasang nilai tinggi, para siswa mereka menjadi lebih
berprestasi dan menjadikan sekolah di atas awan dibandingkan dengan sekolah
yang lain. Pertanyaannya, apakah benar yang terjadi di lapangan bahwa KKM
menjadi poin yang menampilkan kemampuan siswa?
Sebelum
menjawab pertanyaan di atas,alangkah baiknya kita mengetahui beberapa unsur
penting di dalam pembuatannya. Pertama, unsur daya dukung/support yang dimiliki
sekolah harus benar-benar diperhitungkan. Proses pengambilan ukuran daya dukung
ini harus dilakukan dengan sejujur-jujurnya sesuai dengan keadaan sekolah. Itu
meliputi konsep standarisasi sarana prasarana sesuai dengan Permen no.24 tahun 2007 tentang Standar
Sarana dan Prasarana. Jika itu sudah sesuai artinya tingkat daya dukung dapat
diambil nilai rentan tengah-tengah/medium.
Daya dukung ini dapat anda nilai dengan tiga tingkatan yakni rendah pada
angka 1, sedang pada angka 2, dan tinggi pada angka 3. Jika daya dukung tinggi
itu artinya sekolah memiliki fasilitas melebihi batas minimal peraturan
menteri. Sebaliknya kalau rendah, artinya sekolah berada di bawah standar.
Selanjutnya,
intake atau kemampuan awal siswa di
awal semester menjadi unsur kedua dalam penentuan penilaian ini. Kemampuan awal
ini dapat diperoleh dari tes seleksi
masuk sekolah atau pre-test di awal semester jika anda tidak mendapatkan nilai
awal dari sekolah. Intake ini berbanding
lurus dengan daya dukung. Jika intakenya tinggi, anda dapat mengambil nilai 3,
sedang untuk nilai 2, dan rendah untuk nilai 1. Proses ini berbanding terbalik
dengan Kompleksitas (complexity) setiap mata pelajaran. Dalam teori
kompleksitas, jika setelah dianalisis dan dipetakan materi dianggap sangat
sulit, maka kompleksitasnya dikatakan tinggi dan memiliki nilai 1.Sedangkan
kompleksitas sedang mengambil posisi angka 2 dan rendah pada angka 3. Seluruh
unsur KKM diatas di ambil satu kategori dan dijumlahkan hingga menghasilkan
skala 9. Hasilnya dibagi 9 dan dikalikan dengan angka 100, maka nilai KKM yang
sesungguhnya dapat anda jadikan patokan dalam merilis kriteria minimal mata
pelajaran. Perhitungan KKM tersebut diambil dari rata-rata kompetensi dasar.
Sekarang
yang menjadi topik hangat adalah apakah perhitungan itu semua dilakukan oleh
setiap sekolah? Jika tidak, maka yang terjadi pembelajaran tidak memiliki jati
diri dan hanya ikut-ikutan terhadap mata pelajaran lain. Atau dapat diduga
terdapat motif tertentu dalam mengelola pendidikan.
Pada
dasarnya, KKM memiliki perhitungan yang prospektif. Kita tahu bahwa setiap
lulusan sekolah pasti akan memiliki laporan yang lebih banyak isinya berbentuk
angka. Angka tersebut tidak hanya untuk pelaporan kepada orang tua atau wali,
namun juga sebagai portofolio siswa ke depan dimana siswa akan mempergunakannya
untuk melengkapi seleksi administratif di sekolah selanjutnya. Pada momen
tersebut, permulaan pertandingan nilai antar sekolah terjadi. Institusi
penyeleksi pasti akan mengecek rapor yang dimiliki siswa baik hanya pada
semester akhir ataupun seluruh semester. Jika sekolah memasang target KKM yang
tinggi, maka kebanyakan siswanya akan selamat pada saat seleksi administratif.
Kanyataannya demikian karena sekurang-kurangnya kemampuan siswa pun masih dapat
tertolong dengan keberadaan KKM yang tinggi. Jika itu merupakan pemaksaan
terhadap siswa, biasanya siswa hanya unggul pada nilai administratif bukan
lolos pada saat tes tulis. Keadaan nilai yang ada tidak merefleksikan
kemampuannya. Itu semua karena faktor bejo yang didesain oleh guru dan sekolah.
Yang kemampuannya rendah saja mendapat nilai yang tinggi atas pertolongan batas
KKM, apalagi yang kemampuannya tinggi. Isu kritisnya adalah bobot yang
diterapkan dalam pembelajaran masih sama dengan KKM rendah atau lebih berbobot
lagi. Kalau memang sesuai dengan keadaan siswa yang memiliki intake tinggi, itu
sudah menjadi keharusan guru untuk memasang KKM tinggi. Jika tidak, mereka
seakan menahan beban yang sangat menyakitkan dimana mereka banyak menghadapi
kebingungan-kebingungan dalam pembelajaran. Terus menumpuk dan tidak
mendapatkan pemecahan masalah akan menjadikan mereka semakin stres.
Oleh
karenanya, pembuatan KKM ini harus benar-benar diperhatikan oleh setiap
pendidik dan sekolah untuk disesuaikan dengan SOP. Sistem yang memegang teguh nilai kejujuran dan
keterbukaan akan menghasilkan pembelajaran yang maksimal. Dalam konteks ini,
yang terpenting adalah bagaimana kemampuan dan aspirasi siswa tertampung. Siswa
dapat menjadi berkembang dan mendapatkan hasilprestasinya.
Comments
Post a Comment