Siswa Indonesia harus memiliki tingkat konsentrasi yang tinggi
Pengaruh Terlalu Banyaknya Jumlah
Pelajaran Terhadap Tingkat Konsentrasi Siswa Dalam Belajar
Kurikulum telah membatasi dan
mengatur komposisi pelajaran pada sekolah tertentu termasuk dalam setiap
jurusannya. Namun bagaimana realita yang terjadi pada sekolah yang baru berdiri
dan sedang berkembang. Aturan pemerintah kini tidak terlalu mengikat sekolah
untuk menentukan arah visi dan misi sekolah. Rata-rata yang didesain oleh
pemerintah mengenai jumlah pelajaran berkisar antara 9 – 14 mata pelajaran
dengan jumlah jam 2 – 6 jam pelajaran per minggunya pada setiap pelajaran.
Mari kita analisa sejenak, bahwa
setiap siswa telah menghadapi minimal tiga pelajaran yang berbeda pada setiap
harinya. Kapasitas masing-masing pelajaran hanya menggunakan kisaran di atas
dimana satu minggunya dapat diperkirakan bahwa anak hanya menerima dua kali
tatap muka. Dari masing-masing pelajaran berkutat pada pola yang sama secara
terus-menerus dengan kuantitas mata pelajaran yang sangat bervariasi. Pertanyaannya,
apakah mereka memiliki kemampuan spesial pada masing-masing bidang? Semua pelajaran
diajarkan dalam kemasan covering.
Jika kita melihat siswa SD sedang
belajar, yang paling banyak diberikan guru dimasa kini adalah lebih menyukai
KMTT (kegiatan mandiri tidak terstruktur) alias PR. Persepsi guru dalam
menterjemahkan sari-sari K13 yang mengisyaratkan tentang pembelajaran mandiri
dan student based lerning sering kali terkecoh. Yang ada siswa lebih banyak
berburu barang-barang belanjaan yang diminta dalam PR atau bermain game dengan
kedok browsing pelajaran. Pamitnya kepada orang tua browsing mengerjakan tugas,
akhirnya bermain game karena tidak mengerti dengan konsep pembelajaran yang
diterangkan oleh guru. Belum lagi, siswa yang tidur dikelas akibat banyaknya
tugas guru. Lebih banyak dari mereka adalah bingung dengan pembelajaran dalam
kelas yang sering kali dibuat tidak tuntas sehingga mereka tidak mengerti apa
yang akan dikerjakan pada penugasan terstruktur atau tidak terstruktur. Intinya
mereka sering tidak fokus dalam pembelajaran. Maka guru harus inovatif di poin ini.
Pada hakekatnya pembelajaran
dalam kelas adalah agar tujuan proses pembelajaran tercapai, yakni berisi
tentang “siswa dapat...”. sekarang, kalau siswanya tidak mengerti di kelas,
apakah guru harus memberikan penugasan agar mereka mengerti secara mandiri.yang
ada siswa hanya menambah dan menumpuk pundi-pundi kebingungan dalam belajar.
Pemahaman yang kemaren saja belum serta merta masuk ke pikiran, apalagi
ditambah pemahaman yang baru. Itu jika berada dalam satu konteks mata
pelajaran. Lalu bagaimana jika itu terjadi pada lebih dari lima pelajaran,
bahkan semua pelajaran. Yang ada justru bukan mendidik mereka untuk memahami
pelajaran, malah menjerumuskan mereka dalam ladang kekalutan hidup. Di sinilah
guru itu dapat disukai oleh murid dan dibenci oleh murid.
Sebenarnya, pengaturan penerapan
jumlah pelajaran yang tidak tepat justru menimbulkan faktor bullying terhadapsiswa. Pasalnya, mereka seharusnya menikmati pembelajaran dengan konsep yang
seimbang, bukan merasakan kepahitan dalam mengasah ilmu. Mereka merasa
dibingungkan dengan sistem yang tidak tepat, belum dengan kerapnya pergantian
sistem, baik jadwal atau agenda maupun gurunya. Mereka seakan terhukum oleh sistem yang membingungkan mereka
meskipun tidak ada etikat untuk membuli mereka. Jadi, sistem pendidikan pada
masing-masing sekolah perlu dikaji. Lebih baik lagi jika kajian tersebut
melibatkan banyak pihak seperti orang tua siswa yang tampak demokratis, bukan
demokratis setingan.
Sistem yang tertata akan dapat mengimbas
konsentrasi siswa. Ini dapat dikaji secara proporsional bahwa siswa memiliki
kemampuan dan keterbatasan. Semua itu harus disesuaikan terhadap visi dan misi
sekolah. Paling tidak sistem itu menampung suara lebih sedikit dari 50% suara
siswa atau orang tua sehingga sekolah dapat memberikan treatment dan program
yang tepat untuk ke depannya.
Dengan pola pembelajaran yang
proporsional, tingkat konsentrasi siswa dalam belajar di kelas akan dapat
terwujud. Hasilnya adalah maksimalnya hasil pembelajaran. Sekarang sekolah
ingin mengemas dalam bentuk dan program apapun kepada pembelajaran siswa pasti
percuma saja jika lebih dari 50% siswa tidak fokus dalam pembelajaran. Justru
itu akan mempengaruhi yang lain untuk tidak fokus dan pembelajaran akan semakin
membosankan. Yang perlu diingat bahwa anak sekarang ini memiliki tingkat
responsif yang sangat lemah, mereka tidak suka mendengarkan orang yang sedang
berbicara. Jangankan guru yang sedang ceramah, instruksi dalam permainan yang
terlihat menyenangkan saja terkadang mereka tidak mendengar. Bahkan asyik
sendiri berbincang dan menciptakan permainan sendiri dengan rekannya. Guru yang
bertugas untuk menangani mereka harus super sabar dan teguh, serta pantang
menyerah dalam mengarahkan mereka. Namun itu semua tidak akan terjadi jika
keadaan siswa untuk belajar dalam keadaan fit, segar, dan tenang.
Serupa dengan kejadian di atas,
lebih dari itu yang terjadi pada kehidupan sekolah boarding atau asrama. Mengingat
kegiatan mereka sangat padat dan diliputi oleh kegiatan pagi dan malam membuat
mereka tidak maksimal dalam menerima pelajaran. Makanya,sangat banyak guru yang
menjumpai muridnya tidur pada saat awal masuk kelas. Bagaimana mau
mendengarkan, berkonsentrasi, dan menerima pembelajaran, untuk membuka mata
saja sulit. Mereka sudah terlalu lelah dalam pelajaran. Namun tidak semua
kehidupan boarding dikemas dalam kemasan tradisional seperti itu. Sekarang telah
banyak lahir sekolah boarding modern yang lebih mengedepankan teknologi dari
pada religi. Jika kemasan porsi pembelajaran pada sekolah boarding itu
seimbang, maka dipastikan siswa akan nyaman dalam pembelajaran, dan sebaliknya.
Tetapi faktahnya, mengelola sekolah boarding itu tidak semudah apa yang
dipikirkan seperti halnya sekolah publik. Sekmentasi yang dipikirkan lebih
banyak.
Akhirnya, sekolah harus mengelola
dan menerapkan sistem yang tepat sesuai dengan lebih sedikit di atas porsi
siswa dan tidak terlalu memaksakan kehendak terhadap kegiatan siswa walaupun dengan
dalih untuk mendidik mereka. Konsentrasi siswa dalam pembelajaranlah yang
menjadi kunci dalam mensukseskan visi dan misi sekolah. Itu menjadi ruh sekolah
untuk memajukan filosofi di dalamnya. Jika konsentrasi siswa sudah terjamin,
tentunya konsentrasi pendidik harus lebih ditingkatkan sehingga semuanya
selaras, serasi, dan seimbang.
Comments
Post a Comment